Chat

About

Kami berupaya memberikan yang terbaik untuk Anda, semoga bermanfaat Menguak sisi kebaikan menepis keburukan
Home » » Larangan Membawa Anak Ke Mesjid

Larangan Membawa Anak Ke Mesjid

Assalaamu`alaikum wr wb.

Semoga Ustadz Farid Nu`man beserta keluarga senantiasa sehat, dan dalam perlindungan dan pertolongan Allah. Amien.

Langsung saja,

Ana ingin bertanya tentang larangan mengajak anak-anak ke Masjid. Ana dulu sering mengajak anak ana (umur 3 th) ke Masjid, tetapi karena mendapat peringatan dari takmir untuk tidak mengajak anak-anak ke Masjid (sekitar 1 th yang lalu), maka sejak itu ana tidak pernah lagi mengajak anak ke Masjid.

Belakangan baru saya tahu ada Hadits yang kurang lebih bunyi-nya adalah: 
"Jauhkanlah Masjid dari anak-anak dan orang gila"

Pertanyaan ana:
1. Apakah Hadits tersebut shahih? bagaimana penerapannya?
2. Mohon penjelasan mengenai hal ini yang dilengkapi dengan hadits-hadits dan kisah-kisah di jaman rosul tentang mengajak anak ke Masjid.
3. Bagaimana mengkomunikasikan dengan pihak takmir Masjid?
note: perlu diketahui bahwa ana adalah warga baru di kampung tersebut.

Demikian, Syukron, Jazakumullaahu khoiron Katsieroo.
Semoga Allah memudahkan kita untuk memegang teguh syari`atNya, AMien.

Wassalaamu`alaikum wr wb. (dari hamba Allah di Purwokerto, Jawa Tengah)

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’du:

Saya ucapkan jazakallah khairan atas doa antum, semoga antum dan kelurga juga demikian.

Langsung saja ke pertanyaan antum:

1. Apakah Hadits tersebut shahih? bagaimana penerapannya?

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ وَمَجَانِينَكُمْ

Jauhkan masjid-masjid kalian dari anak-anak kalian dan orang gila.

Hadits ini diriwayatkan oleh:

- Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, Kitabul Masajid Bab Maa Yukrahu fil Masajid No. 750.

Sanadnya: berkata kepada kami Ahmad bin Yusuf As Sulami, berkata kepada kami Muslim bin Ibrahim, berkata kepada kami Al Haarits bin Nabhan, berkata kepada kami ‘Uqbah bin Yaqzhan, dari Abu Sa’id, dari Makhul, dari Waatsilah bin Al Asqa’, bahwa Rasulullah bersabda: .... (disebut hadits di atas)

Dalam sanadnya terdapat Al Haarits bin Nabhan dan Abu Sa’id (yaitu Muhammad bin Sa’id Ash Shawab). Tentang Al Haarits bin Nabhan, Imam Bukhari berkata: “Munkarul hadits – haditsnya mungkar.” (At Tarikh Al Kabir, 2/284). Sebutan Imam Bukhari untuknya, munkarul hadits, adalah sebutan yang paling buruk menurut standar Imam Bukhari.

Imam Al ‘Ijili mengatakan: “Dhaiful hadits – haditsnya lemah.” (Ats Tsiqaat, 1/278)
Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, menyebutkan dari Imam Ahmad bin Hambal tentang Al Haarits bin Nabhan, katanya: “Laki-laki shalih tetapi tidak memahami hadits dan tidak menghapalnya, haditsnya mungkar.”

Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Laisa bisyai’ – dia bukan apa-apa.”
Imam Abu Hatim mengatakan: “Dhaiful hadits, matrukul hadits, munkarul hadits, - dia haditsnya lemah, ditinggalkan, dan mungkar.”

Imam Abu Zur’ah mengatakan: “Dhaiful hadits fi haditsihi wahn – lemah haditsnya, pada haditsnya ada kelemahan.” Beliau merasa heran dengan Yahya bin Ma’in yang cuma mengatakan: “bukan apa-apa.” (Lihat semua dalam Imam Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 3/92)

Imam Abu Nu’aim mengatakan: “dhaifnya orang dhaif.” (Imam Abu Nu’aim, Adh Dhu’afa, Hal. 72, No. 43)

Imam An Nasa’i mengatakan: “Matrukul hadits – haditsnya ditinggalkan.”

Imam Ad Daruquthni mengatakan: “Laisa bil qawwi – bukan orang kuat.”

Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Telah keluar dari batas-batas kelayakan untuk dijadikan hujjah.” (Lihat Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhu’afa wal Matrukin, 1/183, No. 726), dan masih banyak lagi yang mendhaifkannya.

Lalu, tentang Abu Sa’id, berkata Imam Ahmad Al Kinani: “Dia adalah Muhammad bin Sa’id Ash Shawab, Imam Ahmad mengatakan bahwa dia secara sengaja memalsukan hadits. Imam Bukhari mengatakan: mereka (para ulama) meninggalkannya. Imam An Nasa’i mengatakan: kadzdzaab – pendusta. (Imam Ahmad bin Abu Bakar bin Ismail Al Kinani, Mishbah Az Zujaajah, 1/95)

Oleh karenanya, segenap para imam muhadditsin melemahkan hadits ini.

- Imam Ibnu Mulqin mengatakan: “Hadits ini dhaif, dalam isnadnya terdapat Al Haarits bin Nabhan Al Bashriy Al Jurmiy.” (Al Badru Al Munir, 9/595)
- Imam Ibnu Rajab mengatakan: “Dhaif jiddan – sangat lemah”. (Fathul Bari, 2/567)
- Imam Ibnu Hajar mengatakan: “Dhaif. “ (Fathul Bari, 1/549)
- Imam As Sakhawi mengatakan: “Sanadnya dhaif.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 286)
- Imam Ibnul Jauzi mengatakan: “Tidak shahih.” (Khulashah Al Badr Al Munir, 2/429)
- Imam Ash Shan’ani mengatakan: “hadits ini dhaif.” (Subulus Salam, 1/156)
- Imam Badruddin Al ‘Aini mengatakan: “dhaif.” (‘Umdatul Qari, 7/77)
- Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr mengatakan: “hadits ini dhaif.” (Syarh Sunan Abi Daud, 29/215)
- Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan: “Fahuwa dhaif.” (Syarh Riyadh Ash Shalihin, 1/266)
- Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan: “Dhaiful isnad Jiddan –isnadnya sangat lemah.” (Ishlahul Masajid, Hal. 110. Lihat juga Al Irwa’, 7/361, At Ta’liq Ar Raghib, 1/120-121, Al Ajwibah An Nafi’ah, Hal. 55)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh:

- Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 7601, juga oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan As Shaghir No. 3256

Sanadnya: berkata kepada kami Abdan bin Ahmad bin Makhlad bin Rahawaih, berkata kepada kami Abu Nu’aim An Nakha’i, berkata kepada kami Al ‘Ala bin Katsir, dari Makhul, dari Abu Ad Darda, dan Abu Umamah, dan Al Waatsilah, mereka mengatakan: Kami mendengar Rasulullah bersabda: .... (disebut hadits di atas)

Dalam sanadnya terdapat Al ‘Ala bin Katsir, Imam Al Haitsami mengatakan: “dhaif.” (Majma’ Az Zawaid, 2/140)

Imam Ibnul Madini mengatakan: “Dhaif.” Imam Bukhari mengatakan: “Munkarul hadits.” Imam Ahmad mengatakan: “Bukan apa-apa.” Imam Ibnu ‘Adi mengatakan: “Dia meriwayatkan dari Makhul, dari sahabat, dan semuanya tidak ada yang terjaga.” (Lihat semua dalam Mizanul I’tidal, 3/492)

Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu.” (Al ‘Ilal Al Mutanahiyat, 1/403, No.677)

Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Telah disepakati kedhaifannya.” (Al Mughni Fidh Dhu’afa, 2/440)

Oleh karena itu hadits ini didhaifkan oleh Imam Az Zaila’i, Beliau mengatakan: “Sanad hadits ini dhaif.” (Nashbur Rayyah, 2/492), juga oleh Imam Ibnul Jauzi. (Al ‘Ilal Al Mutanahiyat, 1/403)

Lalu, hadits ini juga diriwayatkan oleh:

- Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 20055

Sanadnya: mengabarkan kami Abu Sa’id bin Abi Amru, berkata kepada kami Abu Abdillah Ash Shafar, berkata kepada kami Ahmad bin Mihran Al Ashbahani, berkata kepada kami Abu Nu’aim (yakni An Nakha’i), bercerita kepada kami Al ‘Ala bin Katsir, dari Makhul, dari Abu Ad Darda, dan dari Waatsilah, dan dari Abu Umamah, semua meriwayatkan dan mengatakan: kami mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ........... (lalu disebut hadits di atas)

Hadits ini juga terdapat Al ‘Ala bin Katsir, yang sudah dijelaskan kedhaifannya di atas. Oleh karena itu Imam Al Baihaqi: “Al ‘Ala bin Katsir adalah orang Syam, dia munkarul hadits. Disebutkan pula dari Makhul dari Yahya bin Al ‘Ala dari Mu’adz secara marfu’, dan juga tidak shahih.” (Lihat keterangan Imam Al Baihaqi sendiri dalam As Sunan Al Kubra No. 20055)

Hadits ini juga diriwayatkan jalan lain, sebagaimana disebutkan Imam Abdul Haq, dari jalan Al Bazzar yang merupakan hadits dari Abdullah bin Mas’ud secara marfu’: “Jauhilah oleh kalian masjid dari anak-anak dan orang gila.” Imam Al Bazzar mengatakan: “Tidak ada dasarnya ucapan ini berasal dari Abdullah bin Mas’ud.” Berkata Ibnul Qaththan: “Hadits ini dan ucapan setelahnya, bukanlah termasuk sanadnya Abdullah bin Mas’ud dalam kitabnya Al Bazzar.” (Lihat Al Badru Al Munir, 9/567)

Lalu, hadits ini juga berasari dari Hatim bin Ismail, dari Abdullah bin Al Muharar, dari Yazid bin Al Asham, dari Abu Hurairah secara marfu’: ... (lalu disebut hadits di atas).

Hadits ini juga dhaif. Imam Ibnul Mulqin mengatakan tentang riwayat ini: “Abdullah (bin Al Muharar) adalah orang yang binasa, dan manusia meninggalkan haditsnya.” (Ibid)

Oleh karenanya, Imam Az Zaila’i mengatakan:

وَأَسَانِيده كلهَا ضَعِيفَة

Semua sanad-sanadnya adalah dhaif. (Ad Dirayah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, 1/288)

Maka, semua jalur hadits ini adalah dhaif, tidak bisa dijadikan hujjah, dan tidak pula bisa diterapkan, serta bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menunjukkan kebolehan membawa anak-anak ke masjid.

2. Mohon penjelasan mengenai hal ini yang dilengkapi dengan hadits-hadits dan kisah-kisah di jaman Rasul tentang mengajak anak ke Masjid.

Riwayat yang menyebutkan membawa anak-anak ke masjid begitu banyak dan beragam. Di sini kami sebutkan beberapa saja tentang kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang membawa cucu-cucunya ketika shalat berjamaah bersama para sahabat, di antaranya:

Dari Abu Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِأَبِي الْعَاصِ بْنِ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَهَا وَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu shalat sambil menggendong Umamah -puteri dari Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abul ‘Ash bin Rabi’ah bin Abdisysyams- jika Beliau sujud, beliau meletakkan Umamah, dan jika dia bangun dia menggendongnya. (HR. Bukhari No. 516, Muslim No. 543)

Riwayat lainnya:

عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ أَنَّهُ: سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُولُ: " إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى وأُمَامَةُ ابْنَةُ زَيْنَبَ ابْنَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهِيَ ابْنَةُ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى عَلَى رَقَبَتِهِ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ مِنْ سُجُودِهِ أَخَذَهَا فَأَعَادَهَا عَلَى رَقَبَتِهِ "

Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar Abu Qatadah berkata: bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat sedangkan Umamah –anak puteri dari Zainab puteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga puteri dari Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ bin Abdul ‘Uzza - berada di pundaknya, jika Beliau ruku anak itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas pundaknya. (HR. Ahmad No. 22589, An Nasa’i No. 827, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7827, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 827. Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga menshahihkannya dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 22589, dan Amru bin Sulaim mengatakan bahwa ini terjadi ketika shalat subuh)

Apa Hikmahnya?

قال الفاكهاني: وكأن السر في حمله صلى الله عليه وسلم أمامة في الصلاة دفعا لما كانت العرب تالفه من كراهة البنات بالفعل قد يكون أقوى من القول.

“Berkata Al Fakihani: “Rahasia dari hal ini adalah sebagai peringatan (sanggahan) bagi bangsa Arab yang biasanya kurang menyukai anak perempuan. Maka nabi memberikan pelajaran halus kepada mereka supaya kebiasaan itu ditinggalkan, sampai-sampai beliau mencontohkan bagaimana mencintai anak perempuan, sampai-sampai dilakukan di shalatnya. Dan ini lebih kuat pengaruhnya dibanding ucapan.” (Fiqhus Sunah, 1/262)

Riwayat lainnya, Dari Abdullah bin Syadad, dari ayahnya, katanya:

خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في إحدى صلاة العشي (الظهر أو العصر) وهو حامل (حسن أو حسين) فتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فوضعه ثم كبر للصلاة فصلى فسجد بين ظهري صلاته سجدة أطالها، قال: إني رفعت رأسي فإذا الصبي على ظهر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ساجد فرجعت في سجودي.
فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلاة قال الناس: يا رسول الله إنك سجدت بين ظهري الصلاة سجدة أطلتها حتى ظننا أنه قد حدث أمر، أو أنه يوحى إليك؟ قال: (كل ذلك لم يكن، ولكن ابني ارتحلني فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar untuk shalat bersama kami untuk shalat siang (zhuhur atau ashar), dan dia sambil menggendong (hasan atau Husein), lalu Beliau maju ke depan dan anak itu di letakkannya kemudian bertakbir untuk shalat, maka dia shalat, lalu dia sujud dan sujudnya itu lama sekali. Aku angkat kepalaku, kulihat anak itu berada di atas punggung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan beliau sedang sujud, maka saya pun kembali sujud. Setelah shalat selesai, manusia berkata: “Wahai Rasulullah, tadi lama sekali Anda sujud, kami menyangka telah terjadi apa-apa, atau barangkali wahyu turun kepadamu?” Beliau bersabda: “Semua itu tidak terjadi, hanya saja cucuku ini mengendarai punggungku, dan saya tidak mau memutuskannya dengan segera sampai dia puas.” (HR. An Nasa’i No. 1141, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1141)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

هَذَا يَدُلّ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - وَمَنْ وَافَقَهُ أَنَّهُ يَجُوز حَمْل الصَّبِيّ وَالصَّبِيَّة وَغَيْرهمَا مِنْ الْحَيَوَان الطَّاهِر فِي صَلَاة الْفَرْض وَصَلَاة النَّفْل ، وَيَجُوز ذَلِكَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُوم ، وَالْمُنْفَرِد ، وَحَمَلَهُ أَصْحَاب مَالِك - رَضِيَ اللَّه عَنْهُ - عَلَى النَّافِلَة ، وَمَنَعُوا جَوَاز ذَلِكَ فِي الْفَرِيضَة ، وَهَذَا التَّأْوِيل فَاسِد ، لِأَنَّ قَوْله : يَؤُمّ النَّاس صَرِيح أَوْ كَالصَّرِيحِ فِي أَنَّهُ كَانَ فِي الْفَرِيضَة ، وَادَّعَى بَعْض الْمَالِكِيَّة أَنَّهُ مَنْسُوخ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ خَاصّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ كَانَ لِضَرُورَةٍ ، وَكُلّ هَذِهِ الدَّعَاوِي بَاطِلَة وَمَرْدُودَة ، فَإِنَّهُ لَا دَلِيل عَلَيْهَا وَلَا ضَرُورَة إِلَيْهَا ، بَلْ الْحَدِيث صَحِيح صَرِيح فِي جَوَاز ذَلِكَ ، وَلَيْسَ فِيهِ مَا يُخَالِف قَوَاعِد الشَّرْع ؛ لِأَنَّ الْآدَمِيَّ طَاهِر ، وَمَا فِي جَوْفه مِنْ النَّجَاسَة مَعْفُوّ عَنْهُ لِكَوْنِهِ فِي مَعِدَته ، وَثِيَاب الْأَطْفَال وَأَجْسَادهمْ عَلَى الطَّهَارَة ، وَدَلَائِل الشَّرْع مُتَظَاهِرَة عَلَى هَذَا . وَالْأَفْعَال فِي الصَّلَاة لَا تُبْطِلهَا إِذَا قَلَّتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ ، وَفَعَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - هَذَا - بَيَانًا لِلْجَوَازِ ، وَتَنْبِيهًا بِهِ عَلَى هَذِهِ الْقَوَاعِد الَّتِي ذَكَرْتهَا ، وَهَذَا يَرُدُّ مَا اِدَّعَاهُ الْإِمَام أَبُو سُلَيْمَان الْخَطَّابِيُّ أَنَّ هَذَا الْفِعْل يُشْبِه أَنْ يَكُون مِنْ غَيْر تَعَمُّد ، فَحَمَلَهَا فِي الصَّلَاة لِكَوْنِهَا كَانَتْ تَتَعَلَّق بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمْ يَدْفَعهَا فَإِذَا قَامَ بَقِيَتْ مَعَهُ ، قَالَ : وَلَا يُتَوَهَّم أَنَّهُ حَمَلَهَا وَوَضَعَهَا مَرَّة بَعْد أُخْرَى عَمْدًا ؛ لِأَنَّهُ عَمَل كَثِير وَيَشْغَل الْقَلْب ، وَإِذَا كَانَتْ الْخَمِيصَة شَغَلَتْهُ فَكَيْف لَا يَشْغَلهُ هَذَا ؟ هَذَا كَلَام الْخَطَّابِيّ - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - وَهُوَ بَاطِل ، وَدَعْوَى مُجَرَّدَة ، وَمِمَّا يَرُدّهَا قَوْله فِي صَحِيح مُسْلِم فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا .
وَقَوْله : ( فَإِذَا رَفَعَ مِنْ السُّجُود أَعَادَهَا ) ، وَقَوْله فِي رِوَايَة مُسْلِم : ( خَرَجَ عَلَيْنَا حَامِلًا أُمَامَةَ فَصَلَّى ) فَذَكَرَ الْحَدِيث . وَأَمَّا قَضِيَّة الْخَمِيصَة فَلِأَنَّهَا تَشْغَل الْقَلْب بِلَا فَائِدَة ، وَحَمْل أُمَامَةَ لَا نُسَلِّم أَنَّهُ يَشْغَل الْقَلْب ، وَإِنْ شَغَلَهُ فَيَتَرَتَّب عَلَيْهِ فَوَائِد ، وَبَيَان قَوَاعِد مِمَّا ذَكَرْنَاهُ وَغَيْره ، فَأُحِلّ ذَلِكَ الشَّغْل لِهَذِهِ الْفَوَائِد ، بِخِلَافِ الْخَمِيصَة . فَالصَّوَاب الَّذِي لَا مَعْدِل عَنْهُ : أَنَّ الْحَدِيث كَانَ لِبَيَانِ الْجَوَاز وَالتَّنْبِيه عَلَى هَذِهِ الْفَوَائِد ، فَهُوَ جَائِز لَنَا ، وَشَرْع مُسْتَمِرّ لِلْمُسْلِمِينَ إِلَى يَوْم الدِّين . وَاللَّهُ أَعْلَم .

“Hadits ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan yang sepakat dengannya, bahwa bolehnya shalat sambil menggendong anak kecil, laki atau perempuan, begitu pula yang lainnya seperti hewan yang suci, baik shalat fardhu atau sunah, baik jadi imam atau makmum.

Kalangan Maliki mengatakan bahwa hal itu hanya untuk shalat sunah, tidak dalam shalat fardhu. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memimpin orang banyak untuk menjadi imam, peristiwa ini adalah pada shalat fardhu, apalagi jelas disebutkan itu terjadi pada shalat shubuh.

Sebagian kalangan Maliki menganggap hadits ini mansukh (dihapus hukumnya) dan sebagian lagi mengatakan ini adalah kekhususan bagi Nabi saja, dan sebagian lain mengatakan bahwa Beliau melakukannya karena darurat. Semua pendapat ini tidak dapat diterima dan mesti ditolak, sebab tidak keterangan adanya nasakh (penghapusan), khusus bagi Nabi atau karena darurat, tetapi justru tegas membolehkannya dan sama sekali tidak menyalahi aturan syara’. Bukankah Anak Adam atau manusia itu suci, dan apa yang dalam rongga perutnya dimaafkan karena berada dalam perut besar, begiru pula mengenai pakaiannya. Dalil-dalil syara’ menguatkan hal ini, karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan ketika itu hanya sedikit atau terputus-putus. Maka, perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu menjadi keterangan tentang bolehnya berdasarkan norma-norma tersebut. Dalil ini juga merupakan koreksi atas apa yang dikatakan oleh Imam Al Khathabi bahwa seakan-akan itu terjadi tanpa sengaja, karena anak itu bergelantungan padanya, jadi bukan diangkat oleh Nabi. Namun, bagaimana dengan keterangan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak berdiri yang kedua kalinya, anak itu diambilnya pula. Bukankah ini perbuatan sengaja dari Beliau? Apalagi terdapat keterangan dalam Shahih Muslim: “Jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bangkit dari sujud, maka dinaikkannya anak itu di atas pundaknya.” Kemudian keterangan Al Khathabi bahwa memikul anak itu mengganggu kekhusyu’an sebagaimana menggunakan sajadah yang bergambar, dikemukakan jawaban bahwa memang hal itu mengganggu dan tidak ada manfaat sama sekali. Beda halnya dengan menggendong anak yang selain mengandung manfaat, juga sengaja dilakukan oleh Nabi untuk menyatakan kebolehannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang benar dan tidak dapat disangkal lagi, hadits itu menyatakan hukum boleh, yang tetap berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kemudian.” Wallahu A’lam (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/307. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Riwayat lain, dari Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنِّي لَأَقُومُ فِي الصَّلَاةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلَاتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ

Saya mengimami dalam shalat dan hendak memanjangkan bacaannya, lalu saya mendengar tangisan anak-anak, maka saya ringankan shalat, aku tidak suka halmembuat sulit ibunya. (HR. Bukhari No. 707)

Demikianlah berbagai riwayat tentang kebolehan membawa anak-anak ke masjid, dan betapa berkasih sayangnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan anak-anak, dan keterangan para ulama tentang hal ini.

Mengajak anak-anak ke masjid merupakan pendidikan buat mereka sebagai upaya penanaman sejak dini kepada mereka untuk mencintai masjid. Ada pun kegaduhan yang mungkin akan terjadi, sebaiknya diantisipasi oleh orang tuanya. Hendaknya orang tua melakukan penjagaan dan himbauan kepada anak-anaknya untuk berlaku tertib. Jika tidak bisa, maka sebaiknya tidak membawanya sampai anak tersebut siap di bawa ke masjid.

Berkat Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:

إذا حصل منهم إفساد أو ضرر فهذا مطلوب، وأما إذا لم يحصل فإن السنة جاءت بالإتيان بالصبيان إلى المسجد

Jika membawa mereka menghasilkan kerusakan atau mudharat, maka hal itu -yakni menjauhkan mereka dari masjid, pen- adalah diperintahkan, ada pun jika tidak ada dampak apa-apa, maka sunah telah menunjukkan tentang kesertaan anak-anak menuju masjid. (Syarh Sunan Abi Daud, 29/216)

3. Bagaimana mengkomunikasikan dengan pihak takmir Masjid?

Sebaiknya, jika memang kultur di sana tidak memungkinkan untuk membawa anak-anak ke masjid, ditambahlagi antum adalah penduduk baru, maka jangan paksakan membawa mereka. Agar tidak membawa mudharat yang lebih besar, yaitu lahirnya kebencian mereka terhadap antum dan lahirnya tuduhan yang tidak-tidak. Bersamaan dengan itu, mungkin bisa diberikan pelurusan pemahaman, atau minimal adanya pemikiran pembanding agar ta’mir masjid bisa lebih moderat. Antum bisa membawa tulisan yang bisa menambahkan wawasan bagi pihak ta’mir masjid.

Demikian. Aquulu qauliy hadza wa astaghfirullah liy wa lakum .....
Wallahu A’lam
Farid Nu'man Hasan 
 
Disalin ulang dari : http://www.islamedia.web.id
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS